Pages

Monday, November 13, 2017

Mencari Makanan Khas Aceh di Gombak

13 belas tahun yang lalu, aku dan orang tuaku tiba di Kuala Lumpur. Untukku, ini adalah pertama kalinya aku sampai di kota besar ini. Tapi untuk orang tuaku, mereka sudah pernah ke sini pada saat mereka jalan-jalan bersama rombongan kawan sekerja mereka. Orang tua mengantarku ke kota besar ini untuk menemaniku mendaftar ulang di Universitas Islam Antarabangsa (UIAM) untuk program S1. Waktu berjalan begitu cepat sehingga di tahun 2017 ini, aku masih tetap berada di sini. Bedanya, saat ini aku sudah 3 tahun bekerja di sebuah perusahaan IT lokal setelah menyelesaikan program master.

Selama beberapa tahun pertama di sini, tepatnya di daerah Gombak, lokasi kampus tempatku kuliah S1 selama 4 tahun, sangat susah sekali mendapatkan makanan khas Aceh. Kami harus melangkah ke kawasan Chow Kit, tepatnya di Restaurant Acheh Meutuwah untuk sekedar melepas rindu dengan mie Aceh, asam keueung, timun kerok, kari daging, pepes ikan/udang, dan sebagainya. Kemudian kami menemukan sebuah kedai makan di Greenwood yang menjual lauk pauk khas Aceh. Akan tetapi pilihan lauknya agak terbatas.

Cara lain untuk melepas kerinduan akan makanan Acheh adalah dengan tanpa sungkan dan malu mengunjungi rumah senior kami yang sangat baik hati dan ramah, Kak Farah dan Bang Shabri. Tetapi sejak mereka kembali ke Aceh, kami pun kehilangan tempat untuk berburu makanan Aceh gratisan hahaha. Terimakasih yang sebanyak-banyaknya untuk Kak Farah dan Bang Shabri yang selalu menyambut kami, mahasiswa-mahasiswa yang kelaparan ini, dengan tangan terbuka. Sangat banyak sekali jasa mereka terhadap mahasiswa UIAM terutama yang dari Aceh.

Keadaan di atas berubah sekali pada saat ini, di tahun 2017. Aku tidak ingat kapan tepatnya warung makan ataupun warung mie Aceh mulai berjamuran di kawasan batu 8 Gombak ini. Rasanya sudah sejak aku mulai menyambung kuliah masterku di tahun 2011. Diawali dengan sebuah kedai mie aceh di sore hari yang merangkap kedai nasi campur aceh di siang harinya. Sampailah pada saat ini, sudah sedemikian mudahnya kami mendapatkan lauk khas Aceh di Gombak ini. Di simpang batu 8 ini bahkan sudah ada yang berjualan mie aceh, nasi goreng aceh, martabak telur, sate matang, bahkan kopi aceh seperti sanger dan acehkano.

Untuk pilihan lauk pauk, memang masih terbatas pilihannya. Tapi lauk utama seperti Asam Keueung atau pun kari daging/kambing, mudah sekali ditemukan. Untuk mie aceh dan nasi goreng, cita rasanya tidak kalah dengan yang dijual di Aceh. Untuk sate matang, menurutku, rasanya sudah sangat mirip sekali dengan yang dijual di Aceh, terutama kuah kacangnya. Martabak telurnya juga sama enaknya. Untuk kopinya, juga lumayan enak. Harganya juga lumayan terjangkau untuk secangkir kopi yang disajikan menggunakan mesin pembuat kopi profesional ala kafe-kafe mahal. Aku jadi senang saja bisa menikmati kopi mesin dengan harga terjangkau. Sebelumnya, aku malas beli kopi di kafe-kafe seperti Starbuck dikarenakan harganya yang menurutku terlalu mahal untuk segelas kopi. Kini aku bisa menikmatinya di simpang batu 8 Gombak.

Fenomena ini bisa jadi karena semakin banyaknya pekerja-pekerja dari Aceh yang bekerja di Gombak dan sekitarnya. Yang mana mereka pastinya membutuhkan tempat untuk makan. Lelaki Aceh bisa dibilang selera makannya susah sekali untuk berubah. Kemanapun mereka merantau, pasti akan segera mencari makanan khas tempat asalnya. Ini lah yang mungkin membuka peluang untuk perempaun-perempuan Aceh yang ada di sini untuk membuka warung nasi aceh. Peluang yang sama tentunya di lirik oleh penjual mie Aceh. Seperti yang kita ketahui, di Aceh sendiri, warung-warung serupa tidak pernah sepi dari pengunjung, terutamanya laki-laki. Asalkan ada mie aceh dan kopi yang enak, pasti ada saja yang nonkrong di sana untuk menghabiskan waktu.

Monday, November 6, 2017

Museum Orang Asli Gombak Batu 12

Selama ini aku hanya melihat signboard Museum Orang Asli di simpang tiga ke arah UIA. Tapi ntah kenapa, tidak ada niat untuk mencari tahu di mana letaknya museum ini. Padahal aku sudah berada di UIA sejak tahun 2004. Pada bulan January tahun 2009, aku dan suami pun akhirnya menetap di sebuah rumah sewa di batu 10 gombak. Setiap saat kami keluar dari rumah, pasti akan melalu simpang 3 tersebut. Setiap itu juga kami melihat signboard Museum Orang Asli. Ada juga terbersit untuk mencari dimana lokasinya. Akan tetapi sampailah di bulan Agustus tahun 2017, kami belum juga sampai ke sana.

Di suatu hari di bulan July 2017, suami menunjukkan foto yang di sharing oleh kawannya di Facebook. Foto tersebut menunjukkan kawan tersebut beserta anak dan istrinya sedang mengunjungi Museum Orang Asli. Saat itu lah kami kembali berpikir, ya ampun, kami aja yang tinggal di batu 10 gombak malah belum sampai ke situ. Padahal menurut kawan tersebut, museum itu terletak di batu 12 gombak. Kami pun akhirnya membulatkan niat untuk mengunjungi museum tersebut.

Akhirnya pada hari Sabtu, 19 Agustus 2017, sampai juga kami di Museum Orang Asli Gombak Batu 12. Hanya sekitar 6 menit dari rumah dengan mengendarai mobil. Pada saat kami sampai, ada sepasang lelaki dan perempuan yang menuju tempat parkir, sudah mau pulang. Selain itu, kami tidak melihat orang lain di halaman depan museum. Sebelum kami masuk,kami pun singgah dulu di kedai sebelah museum yang menjual cenderamata khas orang asli. Yang menjaga kedai adalah seorang perempuan muda yang sangat ramah. Nampaknya dia sudah mengetahui sedikit banyak sejarah orang asli jadi ketika aku menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan barang-barang khas orang asli, dia bisa dengan cepat dan tanggap menjawabnya. Rayyan dan Zafir nampak tertarik dengan seruling terbuat dari bambu. Ayahnya pun akhirnya membeli seruling itu, masing-masing satu untuk Rayyan dan Zafir.

Dari kedai cenderamata, kami menuju sebuah bangunan kecil di seberang jalan. Di kedai ini dipamerkan berbagai alat-alat  khas buatan orang asli. Ternyata itu tempat dibuatnya berbagai alat-alt tersebut. Yang menjaga adalah seorang gadis remaja yang ternyata ayahnya lah si pembuat alat itu. Kami hanya melihat-lihat saja.

Kemudian kami pun menuju ke bangunan utama yang merupakan museum orang asli. Ketika memasuki ruangan, seorang lelaki yang berbadan tambun menyambut kami dengan senyuman ramah. Dia mempersilahkan kami masuk dan kemudian kembali sibuk dengan handphonenya. Kami pun mulai masuk melihat-lihat barang-barang yang dipamerkan. Suasana di dalam museum lumayan dingin dengan AC sehingga membuat kami nyaman berada di dalamnya. Cukup menarik juga alat-alat yang dipamerkan terutamanya alat-alat memasaknya. Kami sedikit tertawa karena ada beberapa alat-alat masak dan peralatan dapur yang sebenarnya masih dipakai di kampung kami. Jadi alat tersebut tidaklah terlalu unik untuk kami. Misalnya adalah centong nasi atau untuk mengambil kuah yang terbuat dari batok buah kelapa. Aku ingat sekali kalau mamaku dulu punya centong seperti itu.

Kemudian kami melihat replika alat penumbuk padi atau tepung. Aku jadi teringat adik iparku ada pernah mengirim foto Faris dan Rayyan yang sedang serius mengamati salah seorang Makcik di kampung Blang Me yang sedang menumbuk beras untuk dijadikan tepung dengan menggunakan alat tersebut. Ada sebutan dalam bahasa Aceh untuk alat tersebut. Akan tetapi aku lupa dan perlu menanyakan kembali ke Bang Fahmi. Alat tersebut berada tak jauh dari rumah Ummi Bang Fahmi.

Selain memamerkan alat-alat yang dipakai oleh orang asli, ada juga di dinding-dindingnya yang tertulis sejarah singkat orang asli di Malaysia. Kami tidak terlalu memusatkan perhatian pada tulisan sejarahnya. Kami berpikir kalau untuk membacanya, kami tunggu di kesempatan berikutnya kami main ke sini. Jadi ada alasan lagi untuk mengunjungi Museum ini.

Setelah habis mengelilingi lantai 1, kami pun menuju lantai 2. Tidak banyak hal yang bisa dilihat di lantai 2. Aku pun tidak terlalu memperhatikan isinya. Tapi dinding-dindingnya penuh dengan gambar-gambar lelaki seperti seorang pejabat. Aku rasa isinya itu berupa penghargaan terhadapat orang-orang yang  berjasa dalam mendirikan museum orang asli. Di bagiaan lain, dindingnya juga penuh dengan gambar orang-orang asli berserta beberapa kegiatan yang dilakukan bersama orang asli. Setelah itu kami pun langsung turun kembali ke lantai 1.

Sesampai di bawah, kami menghabiskan sedikit waktu untuk membaca jenis-jenis suku orang asli di Malaysia. Tak lama setelah itu, kami pun beranjak keluar dari gedung dengan niat di dalam hati untuk kembali lagi mengunjungi museum ini.

Di sebelah kiri bangunan utama museum, ada sebuah tempat yang mirip Balee tempat orang duduk dan berkumpul. Kami pun mengambil foto di tangga kecil di sebelahnya. Sebelum pulang, kami kembali singgah di kedai cenderamata tersebut untuk membeli minuman. Kami hanya berada di sana sekita 1 jam setengah saja.


Monday, October 30, 2017

Outing with My Two and Half Year Old Adorable Son

Di posting sebelumnya, aku ada bercerita dengan perjalananku ke AEON Wangsamaju bersama Zafir demi sebuah Garlic Press. Kali ini aku ingin bercerita tentang pengalaman mengajak Zafir menemaniku berbelanja. Zafir, diumurnya yang dua setengah tahun, adalah anak yang sangat aktif dan sangat cerewet. Dia sudah pandai berbicara sebelum umurnya genap 2 tahun. Saat ini, dia sudah bisa berkomentar tentang segala hal. Dia biasa diajak berbicara tentang apa saja. Dari segi aktif, dia sangat berbeda sekali dengan abangnya. Rayyan saat seumur itu, anak yang sangat diam saat berada di tempat umum. Apalagi Rayyan baru bisa berbicara itu di umur 4 tahun. Sedangkan Zafir, sangat aktif dan lasak di tempat umum. Dia bahkan sudah berani tidur atau baring di lantai mall kalau keinginannya tidak dituruti. Ntah dimana dia belajar atau melihat hal seperti itu. Persis deh seperti gambar-gambar atau video anak bule tantrum di tempat umum dengan berbaring di lantai.

Pengalaman hanya berdua dengan Zafir di AEON merupakan sebuah hal baru untuk aku. Zafir itu aman kalau digendong. Tapi aku juga tidak sanggup untuk terus-terusan menggendong dia. Dia pun juga tidak mau digendong terus-terusan. Ketika sampai di AEON, kami singgah di kedai pertama yaitu kedai sepatu BATA. Zafir masih behave. Yang lucunya, saat aku sedang melihat-lihat sandal, dia tidak henti-hentinya berbicara seperti sales boy yang sedang promosi sandal. Dia menunjukan sandal satu persatu sambil menanyakan ke aku apakah aku suka dan mau beli sandal ini. Ketika aku mencoba sebuah sandal, dia pun ikut berkomentar, "Bunda suka kasut itu? Kenapa Bunda tidak suka kasut yang ini?" Ketika aku meminta ukuran sandal ke seorang sales girl, sales girl itu pun kembali dengan mengatakan kalau ukuran yang aku mau tidak ada. Zafir pun dengan sibuknya bertanya, "Kenapa Bunda? Kok tidak jadi beli sandal yang itu?" Aku pun menjawab kalau ukuran sandal untukku tidak ada. Dia pun bertanya lagi dengan nada tidak mengerti, "Apa? Sandal bunda tak ada? kenapa?" Aku hanya tertawa saja mendengarnya sambil menjawab, "Iya". Aku pun melihat-lihat sandal yang lain. Ketika melihat sebuah sandal yang aku suka, aku iseng menanyakan ke Zafir, "sandal ini cantik ga, adik?" Eh, dia dengan santainya menjawab, "Cantik, Bunda". Aku hanya tertawa kecil melihat kecerewetan dia. Sebuah  pengalaman lucu deh belanja sandal dengan Zafir.

Setelah selesai mencari sandal, kedai selanjutnya yang kami jumpai adalah Guardian, sebuah drugstore yang menjual segala alat mandi, kecantikan, obat, multivitamin, toiletries, etc. Aku mau membeli nail polish removal. Lorong-lorong kedainya agak kecil jadinya aku khawatir melepas Zafir. Jadi Zafir pun aku gendong. Aku langsung menuju bagian Nail polish. Ada dua jenis, yang wana pink dan biru. Aku pun mengambil yang warna Pink. Zafir pun berkomentar, "Kenapa bunda ambil yang pink, kenapa ga blue?" Aku pun mengambil sebuah nail polish warna transparan. Kemudian langsung ke kasir. Belanjaan sandal aku taruh di lantai dan zafir aku turunkan. Saat sedang bayar, Zafir malah membongkar kotak sandalku. Aduh! tapi aku biarkan karena aku sedang dalam proses membayar. Setelah bayar, baru aku mundur sedikit untuk membereskan kotak sandalku yang sudah dibongkar.

Dari Guardian, aku langsung segera ke AEON bagian pernak- pernik dapur. Kali ini aku gendong Zafir dan tidak mau mebiarkan dia jalan sendiri. Di bagian dapar kan, banyak alat-alat pecah belah seperti gelas dan piring. Seram rasanya membayangkan Zafir lari-lari di situ. Setelah mendapat barang yg aku cari, aku pun langsung ke kasir dan membayar. dan aku pun langsung keluar dari situ sebelum Zafir minta turun dari gendongan.

Penjalanan berikutnya adalah untuk makan. Awalnya aku mau makan di Food Courtnya aja deh. Tapi pada saat melihat-liat setiap food stall. Zafir makin mengganas. Dia tidak mau aku gendong. Di tempat ramai seperti itu, dengan anak yang sedang meronta-ronta ingin turun, aku pun memutuskan untuk segera berlalu keluar sebelum stress duluan. Tidak bisa nih makan di sini dengan Zafir. Akhirnya aku memutuskan makan di Kenny Rogers. Tempatnya luas dan sedang tidak ramai orang. Di situ Zafir bisa aku lepas tanpa takut dia pergi jauh-jauh. Sengaja aku pilih meja yang besar supaya Zafir bisa bebas pindah-pindah duduk. Mejanya itu perpaduan dari tepat duduk sofa dan kursi. Aku duduk di kursi dan sofa letter U itu khusus untuk Zafir. Demi untuk kenyaman lebih, kita pun harus membayar lebih. Kalau di Food Court tadi, bisa huru-hara dengan Zafir yang tidak mau duduk diam. Makan di Kenny Rogers pun berjalan aman tenteram. Zafir pun senang karena dia punya banyak space untuk dia sendiri. Aku pun tidak perlu tiap detik melihat gerak-gerik Zafir. Zafirnya bukan duduk diam, dia tetap lasak tapi tetap di sekitaran tempat duduk kami. Aku pun bisa aman makan dan menyuapi Zafir. Sebuah pengalaman pertama yang menarik untukku dan perlu aku lakukan lagi ke depannya. Mungkin lain kali, aku keluar berdua saja dengan abangnya Zafir. Anggap saja sebagai bonding time dengan anak.

Thursday, October 26, 2017

Solo Traveling Sambil Mengantar Anak #2

Di posting sebelumnya, aku bercerita tentang pengalaman mengantar anak pulang ke Banda Aceh. Kali ini aku mau bercerita tentang pengalaman menjemput anak di Banda Aceh dan menghabiskan dua malam di Banda Aceh.

Setelah hampir dua minggu Rayyan di Banda Aceh, saatnya aku kembali ke sana untuk menjemput Rayyan. Bang Fahmi dan Zafir mengantarku ke KL sentral. Kemudian aku menaiki bus ke KLIA2. Sesampainya di KLIA2, aku segera masuk ke ruang boarding karena tidak ada bagasi. Sesampai di sana, aku hanya duduk-duduknya saja sambil main handphone menunggu dibukanya ruang boarding untuk kami. Kembali lagi menjalani sensasi solo traveling di mana aku bisa sesuka hati aku, duduk santai memandang di luar jendela melihat pesawat dan juga petugas airport yang sibuk dengan kerja masing-masing di lapangan luar bangunan. Aku juga bisa memperhatikan penumpang lain yang berusaha mengisi waktu sambil menunggu waktu boarding tiba. Satu hal saja yang aku belum berani lakukan yaitu menyapa orang yang tidak aku kenal sambil mengajak ngobrol atau basa-basi.

Begitu waktu boarding sampai, aku pun masuk menunggu di dalam ruangan. Ketika petugas airport mengisyaratkan waktu untuk masuk ke dalam pesawat telah tiba, aku pun masih duduk santai saja. Karena sendirian, ya tidak masalah kalau masuk pesawat di urutan terakhir. Tak lama aku pun berdiri dan antri untuk masuk ke pesawat. Aku dapat tempat duduk di area belakang di dekat jendela. Dalam waktu 60 - 80 menit, pesawat pun mendarat di Sultan Iskandar Muda International Airport.

Seperti biasa, Bapakku yang menjemput disertai dengan Rayyan dan Faris. Kami langsung menuju rumah untuk beristirahat. Aku tidak terlalu ingat apa yang aku lakukan sampai waktu berbuka puasa. Rasanya hanya beristirahat di rumah. Menjelang sore, kami pergi ke pasar aceh untuk satu keperluan yang aku tidak ingat. Saat menuju pulang, aku membeli timun aceh yang hanya ada orang jual pada saat puasa saja. Tidak tanggung-tanggung, aku beli banyak karena aku memang sangat suka.

Menjelang berbuka puasa, Rina dan suaminya pun sampai di Banda Aceh dari Lhokseumawe. Kami berbuka beramai-ramai sambil duduk lesehan di samping ruang makan. Faris juga ikut berbuka puasa di rumah. Sungguh momen-momen yang sangat berharga untuk dikenang. Semenjak kami semua kuliah, bekerja dan merantau jauh dari rumah, momen berbuka puasa beramai-ramai seperti ini menjadi sesuatu yang sangat langka. Aku bertanya kepada Habsah, sepupuku, yang memang tinggal di rumah bersama orang tuaku, "kalau kami ga ada, gimana, Habsah, suasana berbuka puasa?" Habsah pun menjawab, "Ya sepi lah kak Rini, cuma kami bertiga aja". Di satu sisi, jadi sedih juga memikirkan orang tuaku. Dalam hati ini, aku jadi semakin semangat untuk berniat pulang ke Banda Aceh setiap bulan puasa untuk dua atau tiga malam saja jikalau kami tidak berkesempatan untuk berlebaran di kampung.

Selesai berbuka puasa, aku pun memutuskan untuk beristirahat saja di rumah. Rina pun juga sama. Kami pun ngobrol aja di tingkat dua rumah. Rayyan pun juga tidak mau ikut tarawih. Lama juga kami ngobrol ngalur ngidur ke berbagai topik dengan Rina. Kalau aku tidak salah, kami baru tidur pada saat menjelang sahur. Tapi kami tetap terbangun juga pada saat sahur.

Di hari kedua, aku pun menghabiskan waktu pagi hanya di rumah saja. Aku sudah memberitahu Mama kalau hari ini kami akan berbuka puasa di luar bersama teman-teman SMA dulu. Saat siang, aku pun ikut Rina dan Habsah ke Pasar Aceh untuk menukar baju koko Bang Jufni, suami Rina, yang kekecilan. Kalau dikutkan hati, rasanya malas sekali keluar panas-panas begini saat bulan puasa. Tapi karena sayang saja waktu dihabiskan di rumah, aku pun ikut mereka. Sesampai di pasar aceh, aku pun menyempatkan untuk membeli beberapa barang seperti anak jilbab, jilbab dan juga lipstik. Itu pun di tempat yang sama koko tersebut dibeli. Setelah selesai urusan, kami pun langsung pulang ke rumah untuk bersiap-siap pergi ke tempat acara berbuka puasa dibuat.

Menjelang berbuka puasa, kami pun sampai di lokasi tempat berbuka puasa bersama teman-teman cewek dari SMA, tepatnya MAS Ruhul Islam Anak Bangsa. Sore itu kami berbuka puasa di sebuah restaurant yang bernama The Pantry yang berada di Banda Aceh. Cukup menyenangkan juga pertemuan kami saat itu. Saling menanyakan kabar masing-masing serta menghitung jumlah anak untuk yang sudah menikah dan punya anak hahaha. Tak lama, azan maghrib pun berkumandang, suasana riuh tiba-tiba menjadi sedikit senyap karena semua sibuk mencicipi hidangan berbuka puasa yang sudah dipesan. Makanan utamanya kali ini agak sedikit mengecewakan karena sudah dingin sekali saat kami sampai. Nasinya bahkan sudah agak sedikit keras. Minumannya yang bikin puas karena diberikan hingga empat macam minuman untuk setiap orang. Gorengannya juga lumayan enak menurut aku sih yang sudah lama tidak mencicipi gorengan ala Indonesia. Tapi ya aku tidak terlalu mengeluh juga sih. Dalam suasana berbuka puasa yang tempat makannya penuh sekali dengan orang-orang, perkara yang sedikit mustahil untuk menghadirkan makanan yang fresh dan hangat seperti baru siap dimasak untuk semua orang yang berbuka disitu. Toh, seperti kata kembaranku, kenikmatan utama bukan terletak pada makanannya tapi pada suasana meriah berbuka puasa di tempat keramaian. Kalau mau makanan super enak dan fresh, masakan homemade di rumah sendiri pastilah menjadi pilihan utama.

Acara berbuka malam itu kami akhir dengan berfoto bareng di dalam restauran yang dekorasinya keren serta, mengambil istilah yang lagi booming di Indonesia, kekinian.....


Wednesday, August 30, 2017

Idul Adha 2017 di Perantauan #1

Cuti Idul Adha tahun 2017 jatuh pada hari jumat tanggal 1 September. Hari sebelumnya, tepatnya hari kamis tanggal 31 Agustus juga merupakan tanggal merah yaitu Hari Kemerdekaan Negara Malaysia. Apakah artinya dua tanggal ini? Ini bermakna long weekend yang sangat bermakna bagi para pekerja nine to six seperti kami ini. Teman-teman sekantor yang orang lokal sudah pasti akan mengambil cuti untuk kembali ke kampung halaman masing-masing. Walaupun lebaran Idul Adha di Kuala Lumpur tidak semeriah Idul Fitri, tapi momen lebaran seperti ini tetap dimanfaatkan oleh para perantau untuk menjenguk orang tua masing-masing.

Bagaimana dengan kami si perantau warga asing? Seperti biasa, aku dan suamiku memang tidak pulang ke Banda Aceh. Seperti sebelum-sebelumnya, kami merayakan Idul Adha di Kampung Sungai Salak, di rumah sewa kami tercinta. Kadang-kadang, orang tuaku akan datang ke sini. Akan tetapi, karena orang tuaku sudah merayakan Idul Fitri tahun ini di sini, maka kali ini mereka memilih untuk berlebaran di Aceh saja.

Jujur saja, tahun ini aku tidak terlalu bersemangat menyambut Idul Adha. Biasanya aku sudah mulai memikirkan menu yang akan aku masak dan mulai menyicil bumbu-bumbu yang akan dipakai untuk memasak di minggu sebelumnya. Tapi terpikirkan juga lah mau masak apa. Keinginan saat ini adalah masakan apa saja selain rendang, toco, sayur lodeh dan lontong hahahaha. Ingin berbeda saja untuk tahun ini. Salah satu piliham menu adalah memasak kari daging lembu atau pun kambing. Tapi aku sama sekali belum pernah masak kari daging sendiri tanpa bantuan Mama atau Ummi. Jadi sedikit riskan saja kalau ternyata hasilnya itu super tidak enak. Mau makan apa kami di pagi raya? Adik bungsuku yang juga bekerja di Kuala Lumpur memang akan datang ke rumah. Tapi ya kemampuan masaknya juga belum bisa diharapkan untuk bisa menggantikan aku untuk masak kari kambing.

Resepnya sih sudah Mamaku kirimkan. Tapi aku masih belum percaya diri untuk memasaknya. Jadi H-2 sebelum hari raya, aku masih belum memutuskan mau masak apa. Kalau kari daging jadi, aku mau memadukannya dengan memasak nasi arab yang aku juga belum terlalu ahli hahahaha. Tapi kalau beneran jadi, aku mau beli beras basmathi suapaya benar-benar jadi nasi arab. Untuk sayurnya, aku malah terpikir untuk membuat salad arab yang pakai cuka itu.

Long weekend ada 4 hari. Trus mau ngapain lagi ya? Pengennya pasti jalan-jalan yang agak jauh. Tapi berdasarkan pengalaman sebelumnya, hindari liburan di saat peak season seperti ini. Sudah bisa dipastikan akan terjebak kemacetan di jalan-jalan tol di sini. Lebih baik keliling saja daerah Kuala Lumpur dan Selangor.

Masih ada 2 hari lagi waktu untuk memikirkan menu Hari Raya Idul Adha tahun ini....

Monday, August 28, 2017

Balada Sebuah Garlic Press

Suatu hari aku menonton video masak-masaknya Mbak Nikmatul Rosyidah di YouTube. Saat itu aku melihat Mbak Nikmatul memakai sebuah gajet dapur bernama garlic press. Dengan alat itu, memudahkan proses memasak yang memerlukan bawang putih yang udah diulek. Aku langsung kepengen punya juga. Sebagai seseorang yang maunya beli barang bagus dengan harga murah, maka aku langsung memutuskan untuk mencari alat tersebut di kedai pecah belah murah meriah yang banyak dijumpai di Kuala Lumpur ini. Aku sering menyebut kedai tersebut sebagai kedai 3 ringgit.

Di kawasan gombak ini saja, ada dua tempat serupa. Tempatnya hanya berupa kedai super besar seperti gudang yang beratap seng dan berlantaikan semen bahkan ada yang berlantaikan tanah tidak rata yang ditutupi karpet plastik. Segala pernah pernik dapur atau rumah ada dijual dengan harga yang sangat murah sekali.

Di akhir pekan, aku pun pergi kedai pecah belah yang berada di dekat pasaraya Ong Tai Kim dekat Plaza Idaman. Setelah berkeliling, aku menemukan juga sebuah alat yang mirip Garlic Press yang kucari. Hanya tinggal dua saja dan tempatnya pun bercampur dengan alat-alat yang lain. Penampakan awal alat tersebut sama sekali tidak meyakinkan dari segi kualitas. Terlihat seperti lelehan alumunium kasar. Aku pun ragu-ragu untuk membelinya. Tapi karena sudah terlalu pengen punya dan harganya hanya RM6.9, maka langsung aku sambar.

Sesampai di rumah, aku pun tak sabar untuk segera mengupas seulas bawang putih. Saat aku mecoba sekuat tenaga menekan alat tersebut untuk mendapatkan hasil ulekan bawang putih, tiba-tiba alat itu patah. Aku terkejut, ya ampun, masa patah sih. Benar-benar gajet sampah nih. Singkat cerita, aku pun membawa kembali alat yang sudah patah itu ke kedai. Tapi si kasir bilang kalau alatnya rusak di rumah, ya alat tersebut ga bisa ditukar kecuali udah patah di kedai. Aku terbengong sebentar melihat alasan tersebut. Jadi begitu mungkin ya para pembuat alat-alat murahan seperti itu mendapatkan untung. Mereka tau aja kalau alat tersebut hanya sampah saja dan sama sekali ga bisa dipakai. Sengaja mereka jual murah saja biar orang beli. Kalau rusak pun, karena murah, yang beli juga ga ngerasa rugi-rugi amat. Kalau mau tukar pun, mereka bisa bikin alasan seperti yang si kasir bilang ke aku. Ini jadi pelajaran deh buat aku untuk tidak membeli alat-alat dapur yang terlalu murahan.

Keinginan untuk memiliki sebuah Garlic Press masih belum padam. Sifat pelit (baca: hemat) masih melanda jadi aku pun melangkah ke kedai serupa yang ada di Greenwood. Masih berharap mendapatkan dengan harga murah. Setelah mencari, dapatlah sebuah alat serupa seharga RM12.9. Alatnya terlihat lebih berkualitas dan harga juga tidak mahal. Aku pun segera membelinya. Sama seperti kisah diatas, sesampai di rumah, aku tidak sabar untuk segera mencobanya. Saat aku coba, alatnya memang tidak patah, tapi bawang putihnya tidak menjadi halus seperti yang aku bayangkan. Hanya sebagian kecil dari bawang putih tersebut yang halus sedangkan sisanya masih ada di dalam alat tersebut. Seberapa kerasnya pun aku tekan alat tersebut, si bawang putih tetap terperangkan di dalamnya utuh. Untuk kedua kalinya aku kecewa dengan Garlic Press yang aku beli.

Tak lama setelah itu, aku langsung berpikir untuk mencari Garlic Press di toko ke tiga yang sebelumnya memang sudah ada di dalam pikiran aku. Tepatnya di Pasaraya AEON Wangsamaju. Pasaraya AEON ini kalau tidak salah pasaraya franchise dari Jepang. Pasarayanya ada di dalam sebuah mall kecil bernama AEON juga. Di situ juga banyak alat-alat dapur keren dalam mall. Sebelumnya aku sudah sering juga sih beli-beli barang dapur yang keren dan berkualitas di situ kalau penyakit pelit lagi ga kumat. Harga alat-alat dapur disitu pastinya memang lebih mahal daripada di kedai 3 ringgit itu. Tapi selama ini sih kualitas yang aku dapatkan memang tidak mengecewakan sama sekali. Aku harus sekali lagi mencari waktu untuk kesana.

Beberapa hari kemudian, saat aku di kantor dan bersiap-siap untuk pulang, suami mengirim pesan whatsapp mengabarkan kalau dia dan Rayyan akan pergi menonton bola di Selayang bersama kawannya dan pergi sebelum maghrib. Aku pun langsung berpikir ini saatnya aku ke AEON karena tidak perlu memasak untuk makan malam. Aku pun langsung pulang dengan hati berbinar-binar. Sebelumnya ke AEON, aku menjemput Zafir dahulu di IIUM EDUCARE. Dari sana, kami pun langsung meluncur ke AEON Wangsamaju yang tidak seberapa jauh. Akan tetapi, karena aku memilih untuk ke AEON melalui jalan kampung, kami pun terjebat macet di kawasan persekolahan Gombak Setia. Banyak mobil-mobil berparkiran sambil menjemput anak-anak pulang sekolah. Tiba di kawasan LRT Taman Melati, kami kembali terjebat macet mobil-mobil yang parkir di sekitar LRT yang juga menjemput teman/istri/anak/suami di LRT. Tapi hatiku masih berbinar-binar, jadi aku nikmati saja kemacetan sore hari ini.

Akhirnya sampai juga di AEON. Dari parkiran, aku dan Zafir menuju pasaraya AEON di tingkat 2. Sebelunya singgah dulu di Toko Bata untuk mencari sandal. Sudah lama juga aku mau membeli sandal baru untuk menggantikan sandal merahku yang sudah tua. Selepas dari Bata, aku juga singgah ke Guardian untuk mencari nail polish removal yang memang aku sedang cari karena punya yang lama ntah ada di mana dan aku sedang males untuk membongkar isi rumah. Setelah itu baru sampai di AEON. Aku langsung menuju ke arah alat-alat dapur kecil dan aku pun menjumpai Garlic Press yang kucari. Harganya hanya RM 19.9 saja ternyata. Dari luaran, terlihat alatnya itu sangat meyakinkan. Materialnya itu mengkilat seperti stainless steel. Tapi aku masih sedikit pesimis karena harganya juga tidak terlalu beda jauh dengan alat nomor dua yang kubeli. Aku segera ke kasir untuk membayar.

Sebelum pulang, aku dan Zafir pun singgah ke Kenny Roger's untuk makan malam. Sambil makan, jujur saja kalau aku tidak sabar ingin mencoba alat tersebut. Dari dalam hati, kalau alat ini ternyata berfungsi sangat baik, harganya itu sama dengan total dua alat yang kubeli sebelumnya. Artinya, sifat pelitku ini sudah membuat aku rugi. Ingin hemat atapi malah akhirnya rugi. Setelah selesai makan, aku dan Zafir pun langsung pulang.

Sesampai di rumah, untuk ketiga kalinya, aku tak sabar untuk mencoba alat ini. Setelah mengupas seulas bawang putih yang kecil, aku pun segera memasukkan bawang putih ke alat tersebut dan aku tekan. Ternyata hasilnya sangat memuaskan sekali. Hasilnya persis ketika aku melihat video Mbak Nikmatul. Bawang putihnya menjadi halus. Aku segera mengupas bawang putih yang lebih besar dan mencobanya. Hasilnya tetap sama dan memuaskan. Alat itu bisa menghaluskan bawang putih seperti yang aku harapkan. Duh, senangnya luar biasa. Perjalanan panjang demi sebuah Garlic Press pun akhirnya berakhir. Mudah-mudahan alat itu bisa bertahan lama. Di sisi lain, aku menertawakan diriku sendiri dengan dua alat sebelumnya yang bikin kecewa.