Pages

Monday, November 13, 2017

Mencari Makanan Khas Aceh di Gombak

13 belas tahun yang lalu, aku dan orang tuaku tiba di Kuala Lumpur. Untukku, ini adalah pertama kalinya aku sampai di kota besar ini. Tapi untuk orang tuaku, mereka sudah pernah ke sini pada saat mereka jalan-jalan bersama rombongan kawan sekerja mereka. Orang tua mengantarku ke kota besar ini untuk menemaniku mendaftar ulang di Universitas Islam Antarabangsa (UIAM) untuk program S1. Waktu berjalan begitu cepat sehingga di tahun 2017 ini, aku masih tetap berada di sini. Bedanya, saat ini aku sudah 3 tahun bekerja di sebuah perusahaan IT lokal setelah menyelesaikan program master.

Selama beberapa tahun pertama di sini, tepatnya di daerah Gombak, lokasi kampus tempatku kuliah S1 selama 4 tahun, sangat susah sekali mendapatkan makanan khas Aceh. Kami harus melangkah ke kawasan Chow Kit, tepatnya di Restaurant Acheh Meutuwah untuk sekedar melepas rindu dengan mie Aceh, asam keueung, timun kerok, kari daging, pepes ikan/udang, dan sebagainya. Kemudian kami menemukan sebuah kedai makan di Greenwood yang menjual lauk pauk khas Aceh. Akan tetapi pilihan lauknya agak terbatas.

Cara lain untuk melepas kerinduan akan makanan Acheh adalah dengan tanpa sungkan dan malu mengunjungi rumah senior kami yang sangat baik hati dan ramah, Kak Farah dan Bang Shabri. Tetapi sejak mereka kembali ke Aceh, kami pun kehilangan tempat untuk berburu makanan Aceh gratisan hahaha. Terimakasih yang sebanyak-banyaknya untuk Kak Farah dan Bang Shabri yang selalu menyambut kami, mahasiswa-mahasiswa yang kelaparan ini, dengan tangan terbuka. Sangat banyak sekali jasa mereka terhadap mahasiswa UIAM terutama yang dari Aceh.

Keadaan di atas berubah sekali pada saat ini, di tahun 2017. Aku tidak ingat kapan tepatnya warung makan ataupun warung mie Aceh mulai berjamuran di kawasan batu 8 Gombak ini. Rasanya sudah sejak aku mulai menyambung kuliah masterku di tahun 2011. Diawali dengan sebuah kedai mie aceh di sore hari yang merangkap kedai nasi campur aceh di siang harinya. Sampailah pada saat ini, sudah sedemikian mudahnya kami mendapatkan lauk khas Aceh di Gombak ini. Di simpang batu 8 ini bahkan sudah ada yang berjualan mie aceh, nasi goreng aceh, martabak telur, sate matang, bahkan kopi aceh seperti sanger dan acehkano.

Untuk pilihan lauk pauk, memang masih terbatas pilihannya. Tapi lauk utama seperti Asam Keueung atau pun kari daging/kambing, mudah sekali ditemukan. Untuk mie aceh dan nasi goreng, cita rasanya tidak kalah dengan yang dijual di Aceh. Untuk sate matang, menurutku, rasanya sudah sangat mirip sekali dengan yang dijual di Aceh, terutama kuah kacangnya. Martabak telurnya juga sama enaknya. Untuk kopinya, juga lumayan enak. Harganya juga lumayan terjangkau untuk secangkir kopi yang disajikan menggunakan mesin pembuat kopi profesional ala kafe-kafe mahal. Aku jadi senang saja bisa menikmati kopi mesin dengan harga terjangkau. Sebelumnya, aku malas beli kopi di kafe-kafe seperti Starbuck dikarenakan harganya yang menurutku terlalu mahal untuk segelas kopi. Kini aku bisa menikmatinya di simpang batu 8 Gombak.

Fenomena ini bisa jadi karena semakin banyaknya pekerja-pekerja dari Aceh yang bekerja di Gombak dan sekitarnya. Yang mana mereka pastinya membutuhkan tempat untuk makan. Lelaki Aceh bisa dibilang selera makannya susah sekali untuk berubah. Kemanapun mereka merantau, pasti akan segera mencari makanan khas tempat asalnya. Ini lah yang mungkin membuka peluang untuk perempaun-perempuan Aceh yang ada di sini untuk membuka warung nasi aceh. Peluang yang sama tentunya di lirik oleh penjual mie Aceh. Seperti yang kita ketahui, di Aceh sendiri, warung-warung serupa tidak pernah sepi dari pengunjung, terutamanya laki-laki. Asalkan ada mie aceh dan kopi yang enak, pasti ada saja yang nonkrong di sana untuk menghabiskan waktu.

Monday, November 6, 2017

Museum Orang Asli Gombak Batu 12

Selama ini aku hanya melihat signboard Museum Orang Asli di simpang tiga ke arah UIA. Tapi ntah kenapa, tidak ada niat untuk mencari tahu di mana letaknya museum ini. Padahal aku sudah berada di UIA sejak tahun 2004. Pada bulan January tahun 2009, aku dan suami pun akhirnya menetap di sebuah rumah sewa di batu 10 gombak. Setiap saat kami keluar dari rumah, pasti akan melalu simpang 3 tersebut. Setiap itu juga kami melihat signboard Museum Orang Asli. Ada juga terbersit untuk mencari dimana lokasinya. Akan tetapi sampailah di bulan Agustus tahun 2017, kami belum juga sampai ke sana.

Di suatu hari di bulan July 2017, suami menunjukkan foto yang di sharing oleh kawannya di Facebook. Foto tersebut menunjukkan kawan tersebut beserta anak dan istrinya sedang mengunjungi Museum Orang Asli. Saat itu lah kami kembali berpikir, ya ampun, kami aja yang tinggal di batu 10 gombak malah belum sampai ke situ. Padahal menurut kawan tersebut, museum itu terletak di batu 12 gombak. Kami pun akhirnya membulatkan niat untuk mengunjungi museum tersebut.

Akhirnya pada hari Sabtu, 19 Agustus 2017, sampai juga kami di Museum Orang Asli Gombak Batu 12. Hanya sekitar 6 menit dari rumah dengan mengendarai mobil. Pada saat kami sampai, ada sepasang lelaki dan perempuan yang menuju tempat parkir, sudah mau pulang. Selain itu, kami tidak melihat orang lain di halaman depan museum. Sebelum kami masuk,kami pun singgah dulu di kedai sebelah museum yang menjual cenderamata khas orang asli. Yang menjaga kedai adalah seorang perempuan muda yang sangat ramah. Nampaknya dia sudah mengetahui sedikit banyak sejarah orang asli jadi ketika aku menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan barang-barang khas orang asli, dia bisa dengan cepat dan tanggap menjawabnya. Rayyan dan Zafir nampak tertarik dengan seruling terbuat dari bambu. Ayahnya pun akhirnya membeli seruling itu, masing-masing satu untuk Rayyan dan Zafir.

Dari kedai cenderamata, kami menuju sebuah bangunan kecil di seberang jalan. Di kedai ini dipamerkan berbagai alat-alat  khas buatan orang asli. Ternyata itu tempat dibuatnya berbagai alat-alt tersebut. Yang menjaga adalah seorang gadis remaja yang ternyata ayahnya lah si pembuat alat itu. Kami hanya melihat-lihat saja.

Kemudian kami pun menuju ke bangunan utama yang merupakan museum orang asli. Ketika memasuki ruangan, seorang lelaki yang berbadan tambun menyambut kami dengan senyuman ramah. Dia mempersilahkan kami masuk dan kemudian kembali sibuk dengan handphonenya. Kami pun mulai masuk melihat-lihat barang-barang yang dipamerkan. Suasana di dalam museum lumayan dingin dengan AC sehingga membuat kami nyaman berada di dalamnya. Cukup menarik juga alat-alat yang dipamerkan terutamanya alat-alat memasaknya. Kami sedikit tertawa karena ada beberapa alat-alat masak dan peralatan dapur yang sebenarnya masih dipakai di kampung kami. Jadi alat tersebut tidaklah terlalu unik untuk kami. Misalnya adalah centong nasi atau untuk mengambil kuah yang terbuat dari batok buah kelapa. Aku ingat sekali kalau mamaku dulu punya centong seperti itu.

Kemudian kami melihat replika alat penumbuk padi atau tepung. Aku jadi teringat adik iparku ada pernah mengirim foto Faris dan Rayyan yang sedang serius mengamati salah seorang Makcik di kampung Blang Me yang sedang menumbuk beras untuk dijadikan tepung dengan menggunakan alat tersebut. Ada sebutan dalam bahasa Aceh untuk alat tersebut. Akan tetapi aku lupa dan perlu menanyakan kembali ke Bang Fahmi. Alat tersebut berada tak jauh dari rumah Ummi Bang Fahmi.

Selain memamerkan alat-alat yang dipakai oleh orang asli, ada juga di dinding-dindingnya yang tertulis sejarah singkat orang asli di Malaysia. Kami tidak terlalu memusatkan perhatian pada tulisan sejarahnya. Kami berpikir kalau untuk membacanya, kami tunggu di kesempatan berikutnya kami main ke sini. Jadi ada alasan lagi untuk mengunjungi Museum ini.

Setelah habis mengelilingi lantai 1, kami pun menuju lantai 2. Tidak banyak hal yang bisa dilihat di lantai 2. Aku pun tidak terlalu memperhatikan isinya. Tapi dinding-dindingnya penuh dengan gambar-gambar lelaki seperti seorang pejabat. Aku rasa isinya itu berupa penghargaan terhadapat orang-orang yang  berjasa dalam mendirikan museum orang asli. Di bagiaan lain, dindingnya juga penuh dengan gambar orang-orang asli berserta beberapa kegiatan yang dilakukan bersama orang asli. Setelah itu kami pun langsung turun kembali ke lantai 1.

Sesampai di bawah, kami menghabiskan sedikit waktu untuk membaca jenis-jenis suku orang asli di Malaysia. Tak lama setelah itu, kami pun beranjak keluar dari gedung dengan niat di dalam hati untuk kembali lagi mengunjungi museum ini.

Di sebelah kiri bangunan utama museum, ada sebuah tempat yang mirip Balee tempat orang duduk dan berkumpul. Kami pun mengambil foto di tangga kecil di sebelahnya. Sebelum pulang, kami kembali singgah di kedai cenderamata tersebut untuk membeli minuman. Kami hanya berada di sana sekita 1 jam setengah saja.