Pages

Tuesday, May 29, 2012

Semalam di Kampung Acheh


Baru-baru ini, saya, suami dan kawan suami beserta istrinya mengunjungi Kedah, tepatnya Kampung Acheh di kota Yan. Kedah adalah salah satu Negara bagian Malaysia yang berbatasan langsung dengan Siam (Thailand). Perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Kedah memakan waktu lebih kurang 6 jam dengan mengendarai mobil. Tujuan utama kami menempuh jarak sedemikian jauh, lebih kurang 444 km,  adalah untuk menghadiri Musyawarah Agung Ikatan Masyarakat Aceh Malaysia (IMAM) yang ke 11. IMAM sendiri adalah satu-satunya persatuan masyarakat Aceh di Malaysia yang didirikan pada tahun 2000. Presiden IMAM adalah Tan Sri Dato’ Sanusi Junid yang merupakan mantan presiden dari International Islamic University Malaysia (IIUM) dan juga mantan Menteri Besar (Gubernur) Kedah. 


Musyawarah Agung IMAM sendiri diadakan di Kampung Aceh Management Centre (KAMC) yang merupakan sebuah village homestay yang dikelola oleh pengurus IMAM. Berbincang-bincang dengan salah satu pengurus KAMC, Cikgu Abdul Rahman, serasa berada di kampung halaman saya di Meureudu. Beliau masih bisa berbahasa Aceh dengan sangat lancar walaupun dilahirkan dan dibesarkan di Kedah. Saya bahkan bertemu dengan cucu beliau yang berumur 4 tahun, beribu Aceh dan berayah Bugis, bahkan bisa berbahasa Aceh dengan pengucapan sangat sempurna. Saya benar-benar kagum dengan penduduk keturunan Aceh di Kedah.

Mari kita kembali ke Musyawarah Agung ke 11 IMAM yang serentak dilakukan dengan acara peresmian Dewan Teungku Muhammad Dahan. Musyawarah dibuka secara resmi oleh Tan Sri Sanusi Junid. Dalam pidato pembukaannya, beliau bercerita mengenai sejarah pemberian nama Dewan tempat diadakannya musyawarah, yaitu Dewan Teungku Muhammad Dahan. Teungku Muhammad Dahan adalah salah satu ulama Aceh yang disegani di Yan, beliau lebih dikenal dengan gelaran Teungku Chik di Yan. Tan Sri Sanusi Junid mempunyai keterikatan yang sangat kuat dengan Teungku Muhammad Dahan karena beliau mempunyai andil besar dalam mempertemukan Tan Sri Sanusi dengan istrinya. Tan Sri juga bercerita tentang orang-orang keturunan Aceh yang mempunyai peran besar dalam memajukan Malaysia seperti Tan Sri Hanafiah Hussain, Tan Sri Elyas Omar dan Tan Sri Kamaruzzaman Shariff. Selain itu, Tan Sri juga bercerita mengenai sejarah orang-orang Aceh yang berada di Kampung Aceh di Yan, Kedah. Pidato Tan Sri diakhiri dengan mengajak semua lapisan masyarakat Aceh di Kampung Aceh, Yan khususnya dan masyarakat Aceh di Malaysia umumnya untuk dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan Aceh menuju Aceh yang lebih baik ke depan.  

Dalam Musyawarah tersebut juga, ada salah satu peserta yang mengusulkan untuk menyebarkan Narit Geutanyo keluar Kedah sehingga bisa dibaca oleh seluruh masyarakat Aceh di Malaysia. Narit Geutanyo adalah buletin yang diterbitkan oleh IMAM setiap dua bulan sekali. Ada juga peserta musyawarah yang lain, Dato’ Dr. Abdullah Hasbi Hassan pakar pertambangan Malaysia keturunan Aceh, yang menyarankan agar Tan Sri Sanusi menulis buku mengenai sejarah Aceh di Malaysia agar generasi muda Aceh di Malaysia mengetahui sejarah indatu mereka atau lebih baik lagi jika Tan Sri Sanusi dapat menulis kisah hidup beliau dalam sebuah otobiografi. Musyawarah ini kemudian diakhiri dengan makan siang bersama dengan menu utamanya  Kuah Plik U dan Timphan buatan ibu-ibu kampung Aceh.


Selama lebih kurang sehari semalam berada di Kampung Aceh, Yan, Kedah, saya mempelajari banyak hal. Salah satunya, saya menyadari betapa pentingnya untuk kita menghargai jasa indatu kita dengan mengetahui, mempelajari dan melestarikan budaya kita. Walaupun generasi Aceh di Kampung Aceh lahir dan membesar di sana, bahkan mereka berbicara bahasa Melayu dengan logat Kedah, tapi mereka tetap tidak lupa bahwa mereka adalah orang Kedah keturunan Aceh dengan melestarikan bahasa Aceh dan kebudayaan Aceh di kalangan mereka. Tidak bisa kita pungkiri bahwa masyarakat Aceh di Kedah sudah berasimilasi dengan kebudayaan setempat. Akan tetapi, mereka tetap bangga mengatakan bahwa mereka adalah orang Aceh dan masih tetap melestarikan budaya Aceh salah satunya melalui penggunaan bahasa Aceh dan juga makanan khas Aceh. Rasa kebanggaan sebagai orang Aceh telah mendorong orang-orang Aceh di Malaysia untuk meraih prestasi gemilang yang terukir dengan tinta emas dalam berbagai bidang sehingga nama Aceh tetap harum di Tanah Melayu.